Mengukur Efektivitas Reses Legislatif dan Jabatan Transaksional

Veri Kurniawan (FOSKAPDA)
Contoh yang sering kita ketahui, si Bapak Bagong misalnya, mau maju mencalonkan diri sebagai DPRD, wilayah Dapil 10. Maka masuklah Bagong ke Dapil 10 dengan membawa program. Terjadi dialegtika antara calon pejabat dan calon pemilih, terjadi kesepakatan akan dibangun jembatan, atau dibangun akses jalan yang bagus.
Perilaku traksaksional itu memang bukan sesuatu yang baru. Dalam banyak kasus pemilihan apapun, perilaku demikian sudah lama ditemui. Para calon, misalnya, membagikan sarung atau materi yang lain kepada calon pemilih dengan harapan bisa terpilih. Tradisi demikian sudah lama terjadi dan lebih mengemuka belakangan. Tidaklah mengherankan, ada orang yang sampai menghabiskan Rp 1 miliar hanya untuk sebuah kursi jabatan.
Paling tidak, terdapat sejumlah kondisi yang memunculkan fenomena itu. Kondisi yang perberkaitan dengan kesadaran para pemilih bahwa politisi yang pada akhirnya memperoleh kekuasaan atas dukungan yang mereka berikan tersebut telah menikmati kekuasaan yang berdurasi cukup lama.
Para pemilih itu lantas berpikir, 'Kalau politisi boleh menikmati kekuasaan selama lima tahun, mengapa kita tidak boleh menikmati sebagian dari hasil kekuasaan itu?''
Pemenang dalam perhelatan perebutan sebuah kursi selama lima tahun akhirnya menikmati kekuasan, paling tidak modal yang dikeluarkan awal untuk pemilihan sudah kembali bahkan lebih untuk mencalonkan diri kembali menempati kursi transaksional tersebut.
Jadi bukan hanya calon pejabat yang melakukan transaksional, namun calon pemilih juga berkesempatan menikmati daripada transaksional tersebut.
Bagi masyarakat pada umumnya, mari lebih jeli dan lebih cerdas dalam memilih pemimpin, baik itu level desa hingga yang lebih tinggi dari desa. Jangan memilih hanya semata ada transaksional, namun lihat kualitasnya.
Read more info "Mengukur Efektivitas Reses Legislatif dan Jabatan Transaksional" on the next page :
Editor :Titus Yohanes
Source : Veri Kurniawan (FOSKAPDA)